Harapan-harapan Baru

Saat kehidupan rumah tangga bergulir, banyak harapan-harapan baru lahir. Yang pertama, tentu keinginan menimang si buah hati:anak.

Qaddarallahu maa syaa-a fa’al. Takdir berkata lain. Selama dua tahun lebih menikah, mereka tak juga dikaruniai momongan. Padahal, usia Hamidah sudah mulai menginjak 32 tahun. Usia yang tidak lagi muda untuk seorang wanita. Tentu saja, perasaan mereka cukup berdebar-debar. Menanti hadirnya sebuah karunia, yang tak sebuah rumus pun bisa memastikan wujudnya, tentu bukanlah hal sederhana. Tak selalu mudah untuk melatih ketabahan menjalaninya.

Tapi, tepat memasuki bulan keempat di tahun ketiga pernikahan mereka, berarti dua tahun 3 bulan setelah menikah, Hamidah positif hamil! Kegembiraan menyeruak dalam dada, menyesak, dan nyaris melesat keluar dari mulutnya, berujud jeritan kegembiraan dalam luapan suka cita tak tertahankan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmushalihat. Segala puji bagi Allah, yang dengan limpahan Karunia-Nya, segala kepentingan dapat terlaksana dengan sempurna. Bukan main! Betapa indahnya dunia ini.

Sembilan bulan 15 hari kemudian, seorang bayi mungil, laki-laki, lahir dengan selamat. Kegembiraan itu pun makin membuncah. Ungkapan Tahmid dan Tasbih makin mengalir deras dari lisan mereka.

Ya, Rabbi, betapa indahnya Kasih-Mu…

Tumpukan harapan bagai menonjok langit. Hadirnya anak tak lain adalah lahirnya karunia, dengan segudang cita-cita terakit bersamanya.

Mereka ingin, sang anak akan menjadi jauh lebih baik dari kedua orang tuanya. Lebih shalih, lebih pintar, lebih berilmu, lebih berbahagia. Pokoknya, lebih segala-galanya.

Lewat kehadiran sang buah hati, mereka berharap kehidupan mereka akan semakin harmonis. Mereka pun semakin saling mencintai, semakin kasih mengasihi. Semakin saling memaklumi kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Anak adalah perekat cinta. Begitu kata orang-orang tua kita dahulu. Kalau bukan karena anak, tentu lebih banyak pasangan pasutri yang mengakhiri rumah tangga mereka di bilik perceraian.

Hamidah dan Fahrul pun berharap demikian, bahwa lahirnya sang buah hati akan makin mempererat cinta mereka karena Allah. Menjauhkan mereka dari neraka perceraian yang sangat mereka khawatirkan.

Secara naluriah, setiap manusia pasti memiliki obsesi dan cita-cita yang bersifat keduniaan. Dunia yang berakhir di dunia, atau dunia yang akan dibawa sebagai bekal di akhirat kelak. Yang jelas, cita-cita itu bernuansa duniawi. Karena cita-cita itulah, maka salah satu sifat yang senantiasa melekat pada diri manusia adalah Hammaam, sang Ambisius.

Hamidah dan Fahrul, dari awal menikah, telah mencanangkan sebuah cita-cita sederhana, namun sangat motivatis, dan menghujam kuat di lubuk hati mereka yang dalam: keinginan memiliki Passive Income yang cukup untuk membuat mereka bisa berkonsentrasi penuh menuntut ilmu!

Sinyal-sinyal harapan itu pun makin menyinarkan kemilauannya. Terlebih, saat si Farhan lahir. Fahrul bekerja lebih giat lagi, untuk mencari sumber-sumber penghasilan lain yang lebih menjanjikan. Alhamdulillah, pintu-pintu rezeki itu terkuak sedikit demi sedikit. Hamidah makin sumringah.

Semoga bermanfaat.

Referensi:
Judul: Sepenggal Duka di Langit Cinta.
Penulis: Abu Umar Basyier
Penerbit: Fatamedia

Tinggalkan komentar

100%BackLink

100% Backlink Indonesia